Pagi ini, saya melihat video sekaligus artikel dari Mas Rianto Astono, dalam video di kanal YouTube-nya yang berjudul Jangan Bosan.

Ada hal yang bagi saya menarik karena akan saya bahas dengan keyakinan dan pengalaman yang saya alami selama ini, sebuah proses panjang bagaimana saya bisa berpikir “Ternyata saya sanggup sampai titik ini” dan bagaimana pandangan saya terhadap bagaimana saya menganggap do’a sama dan harus sejalan dengan usaha, Ikhtiar sekaligus Tawakkal, sekaligus membahas konsep dari menerima segala yang ada sesuai dengan perspektif yang saya pelajari dari falsafah Jawa, dari perspektif saya lho ini ya. Saya cuma membahas perjalanan saya dari zaman masih sekolah hingga saya saat ini sebagai mahasiswa tingkat akhir, yang bagi saya sendiri ini gerbang menuju “dunia nyata yang sesungguhnya”

Anggap saja saya cuma menulis kisah saya, toh Pramoedya Ananta Toer berujar seperti ini:

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer

Banyak yang saya pelajari (dan sama-sama belajar) dari video tadi, tetapi ada satu hal yang saya tangkap dari tulisan Mas Rianto Astono ini yang menurut saya menarik.

Di permukaan, sukses memang terlihat sebagai sesuatu yang glamor, mewah dan bahagia. Hanya masalahnya ia tidak diciptakan dalam satu malam.

Ada jalan panjang sebelum sukses itu datang: hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan dan tahun-tahun yang penuh dengan disiplin, komitmen, rutinitas, repetisi, persistensi dan konsistensi yang sudah pasti–pada suatu titik–akan terasa membosankan.

Kalau tak percaya simak kisah tentang orang paling sukses di dunia atau tanyakan kepada orang yang Anda anggap sukses tentang bagaimana perjuangan yang telah mereka lakukan.

Otot tidak dibentuk dengan mendaftar setahun di tempat gym paling mahal dan hanya pergi di bulan pertama dan terakhir, melainkan dari latihan rutin dan keringat setiap hari.

Keahlian tidak didapat dari sekolah paling hebat, kursus paling terkenal atau buku paling langka, melainkan dari serangkaian pembelajaran, percobaan, kegagalan, evaluasi dan pengorbanan.

Iman tidak dibangun dengan pergi ke rumah ibadah hanya pada saat hari raya, melainkan dari kajian yang panjang dan disiplin terus-menerus untuk singgah setiap kali tiba waktunya sembahyang.

Hal ini yang menurut saya menarik, bagi saya sendiri, konsep daripada mencapai kesuksesan, dengan disiplin, komitmen, rutinitas, repetisi, persistensi dan konsistensi, hemat saya memiliki kesamaan serta keselarasan juga dengan Ora et Labora (berdoa dan berusaha)

Saya mungkin bukan orang yang Religius, saya sadar, ilmu agama yang saya punya pun bagi saya sendiri bukan apa-apa, jauh dari kata sempurna, hanya saja tulisan ini berasal dari pandangan saya sebagai seorang yang beragama, dan ini yang menjadi pemikiran saya.

Suatu siang, pada pertemuan perkuliahan semester 5 lalu, dosen saya Pak Sugiyanto, di akhir pertemuan pada semester itu, beliau berpesan, yang mungkin pesan ini akan saya pegang sampai kapanpun.

Kalian dalam berusaha, jangan lupa dengan hal ini, berusaha haruslah dengan ikhtiar, lalu tawakkal, urutannya harus selalu berusaha, berdoa, tawakkal, jangan dibalik.

Pada malam sebelum kalian tidur dari usaha kalian yang kalian usahakan dengan penuh keringat, jangan lupa untuk berdoa, lalu diakhiri dengan pasrahkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Tidurlah kalian dengan rasa pasrah dan penyerahan diri, lalu lakukan itu setiap hari, terus menerus.

Ikhlas, sebagai hasil akhir dari sebuah proses yang kita jalani. Hasilnya luar biasa, beliau seorang yang berasal dari keluarga yang sederhana, Ayah beliau seorang petani, tapi dengan kalimat tadi, berhasil mengantarkan beliau bahkan kuliah sampai di Inggris, dan masih banyak hal lain lagi yang mungkin jadi saya tidak bisa sebutkan satu-per-satu.

Berusaha, Berdoa, Ikhtiar, Tawakkal lalu diakhiri memasrahkan diri, jadi bukan pasrah diawal dong, jangan menyerah diawal.

“Lalu, apa hubungannya dengan artikel dan videonya Mas Rianto Astono? Lalu kenapa ini artikel ini berjudul Tuhan Tidak (Pernah) Bosan?”

Oke, ini semakin masuk pada inti artikel saya, dan sedikit pandangan dari pengalaman diri saya selama ini. Saya melihat dari tulisan Mas Rianto, ada juga kesamaan konsep yang bisa dilakukan, yaitu dengan selalu berdoa setiap kita selesai berusaha.

Untuk meraih kesuksesan, Mas Rianto disini menulis bahwa ada jalan panjang sebelum sukses itu datang: hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan dan tahun-tahun yang penuh dengan disiplin, komitmen, rutinitas, repetisi, persistensi dan konsistensi. Lantas, apa bedanya dengan kita yang selalu berdoa, setiap saat setiap waktu, apakah Tuhan akan bosan dengan doa kita? Bagi saya, tidak.

Baik doa maupun usaha, untuk meraih itu, untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, tidak mungkin kita raih hanya dengan satu malam, ada proses panjang dimana kita untuk meraih itu harus dengan perjuangan yang panjang.

Doa, tidak akan dikabulkan dengan satu malam, Tuhan tidak memberikan jalan seperti itu, Tuhan akan mengabulkan doa hambanya jika dia selalu berdoa setiap saat, memohon untuk segala keinginannya, itulah hasil daripada usaha kita. Tuhan tidak bosan dengan doa-doa yang kita panjatkan, karena itulah cara untuk memohon kepada Yang Kuasa, sebagai manusia yang bertuhan sekaligus sebagai manusia yang selalu berusaha. Dan kita pun untuk berdoa jangan merasa bosan, saya ingat akhir kata dari dosen saya ini adalah; mungkin saja ada doa yang dikabulkan secepatnya, ada juga doa yang ditangguhkan, mungkin saat kalian berumah tangga baru dijabbah, atau mungkin jadi bekal kalian di akhirat nanti, nggak ada yang sia-sia dari berdoa.

Sama kan dengan konsep kesuksesan yang dijabarkan oleh Mas Rianto tadi? Intinya selalu pada disiplin, komitmen, rutinitas, repetisi, persistensi dan konsistensi.


Hal terakhir yang saya singgung, saya menonton suatu Honorable Mention sebuah video pendek, yang awalnya saya lihat di salah satu akun di Instagram, yang akhirnya saya temukan video aslinya di YouTube.

Hal menarik yang saya pelajari dari Mbah Lindu ini yaitu konsep dari Nrimo Ing Pandum. Nrimo artinya menerima, sedangkan Pandum artinya pemberian. Jadi Nrimo ing Pandum memiliki arti menerima segala pemberian apa adanya tanpa menuntut yang lebih dari itu. Konsep ini menjadi salah satu falsafah Jawa paling populer yang sampai kini masih diugemi atau dianut masyarakat.

Mungkin saya hanya melihat dan membahas dari sudut pandang saya sendiri mengenai hal ini. Bagi saya, saya mengaitkan dengan konsep sebelumnya yaitu; Berusaha, Berdoa, Ikhtiar, dan Tawakkal. Bagi saya sendiri, Nrimo menjadi pengejewantahan dari hasil akhir, sebuah penerimaan setelah berusaha dan berdoa, suatu pengikhlasan atas hasil daya upaya dan usaha yang dilakukan.

Saya pun membaca suatu artikel yang membahas mengenai hal ini lebih lanjut, yang saya kutip bagian yang saya ingin angkat dalam tulisan ini.

Tawakal dan Nrimo ing Pandum ini befungsi dalam hubungan menerima stimulus dari luar. Menurut Ki Ageng Suryomentaram (1892–1962) rasa senang timbul akibat terpenuhinya harapan oleh kenyataan dan bila harapan tidak terpenuhi maka menimbulkan rasa susah. Harapan adalah sesuatu yang kita ciptakan atas kehendak kita sendiri. Sedangkan kenyataan adalah hal-hal yang dalam batas tertentu berada di luar kemampuan kita. Dalam Islam dikenal bahwa Qadha dan Qadar sepenuhnya berada di tangan Allah SWT dan berada di luar jangkauan manusia.

Disinilah Tawakal dan Nrimo ing Pandum menjalankan fungsinya. Kedua konsep ini sebagai pengekang agar manusia tidak terlalu tinggi dalam berharap sehingga ketika kenyataan ternyata tidak sesuai, rasa susah tidak akan menyerang individu tersebut. Konsep ini membantu kita menerima kenyataan yang ada. Tawakal membuat kita berserah kepada Allah SWT atas segala yang telah ditetapkan-Nya. Nrimo ing Pandum membantu kita untuk menerima segala sesuatu apa adanya tanpa berharap atau menuntut “yang tidak-tidak” terhadap lingkungan.

Lalu bagaimana tentang berusaha? Dalam Islam selain tawakal juga dikenal konsep ikhtiar, yakni umat Islam diwajibkan untuk berusaha sekeras mungkin. Bahkan dalam batasan tertentu dikenal juga konsep Jihad yang menuntun kita “bersungguh-sungguh dalam berusaha”.

Bukankah hidup ini pada dasarnya adalah tentang urusan memberi dan menerima? Menerima apa yang telah diberikan kepada kita dengan lapang hati tanpa menuntut dan memberikan apa yang bisa kita berikan semaksimal mungkin tanpa pamrih. Inilah makna sejati dari prinsip Nrimo ing Pandum, karena kita yakin bahwa hanya kepada-Nya lah kita layak berserah diri.

…Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri. (QS. Az-Zumar:38)

Dan iya, pemikiran saya dengan yang dibahas oleh artikel ini memiliki suatu titik temu dan kesamaan.

Bagian terakhir, bagaimana dengan saya sendiri? Saya hanya merasa, dari segala usaha, kenapa saya bisa sampai pada titik ini, jujur, saya sendiri tidak tahu, tapi saya percaya ini semua karena usaha, berdoa, ikhtiar dan tawakkal selama ini. Saya ingat Ibu saya maupun teman saya mengatakan hal yang sama; ada faktor X, faktor diluar kemampuan nalar kita, faktor dimana kuasa manusia tidak bisa memahami hal yang dipahami mengenai ini, bagaimana matematika Tuhan tidak sama dengan matematika kita manusia biasa.

Saya selalu memperjuangan apa yang masih bisa saya perjuangkan. Hal yang menjadi pedoman saya dari zaman saya sekolah sampai di titik ini, dengan segala kekurangan yang ada pada diri saya, saya berusaha untuk yang terbaik, dan pada akhirnya, tingkatan tertinggi bagi diri saya adalah.

Ikhlas.

“Nerima, jangan iri sama kepunyaan orang lain.”

Depok, 27 Juni 2020

Ditulis setelah mengalami hal panjang selama ini, ditulis setelah menikmati langit sore yang cerah.

Sumber Terkait:

  1. Jangan Bosan
  2. Falsafah Jawa Nrimo ing Pandum Serupa Tawakal dalam Islam